Isu yang dihadapi oleh peternak ruminansia di Indonesia adalah belum banyaknya tersedia sumber pakan yang murah. Bila kita pertimbangkan sumber pakan tersebut dapat berasal dari perkebunan kelapa sawit apakah Sistem Integrasi Sapi-Kelapa Sawit (SISKA) dapat menjawab tantangan penyediaan daging merah? Indonesia seharusnya dapat memproduksi banyak sapi potong karena kita mempunyai sumber pakan yang banyak. Untuk itu dapatkah kita menganggap bahwa perkebunan kelapa sawit sebagai savana tertutup, sehingga kita dapat bersaing dengan negara-negara pengekspor ternak yang selama ini dibudidayakan melalui savana terbuka.
Dengan ketersediaan kawasan perkebunan kelapa sawit saat ini sekitar 14 juta hektar, dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti kontur tanah, jenis lahan, dan faktor-faktor lainnya, daya tampung (carrying capacity) dari biomasa yang tersedia, berapa banyak dapat kita perkirakan dari kawasan seluas ini yang dapat digunakan untuk menerapkan SISKA. Apabila pohon kelapa sawit dianggap sebagai sumber pakan, sejauh mana produk pohon sawit dapat diolah menjadi sumber pakan karena saat ini baru sebagian dari pohon sawit dan produk sawit yang dapat dimanfaatkan. Dapatkan pelepah kelapa sawit ditambah dengan hasil samping dan leguminosa menjadi sumber pakan melalui pembuatan pelet.
Dengan demikian, didapatkan SISKA sebagai sebuah sistem digunakan dalam percepatan peremajaan kelapa sawit dengan memberikan pendapatan dan penghasilan kepada pekebunnya, dengan pertimbangan bahwa di sela-sela tanaman sawit dapat digunakan untuk tanaman rumput, jagung atau tanaman sela lainnya, agar sifat simbiosis mutualisme SISKA dapat memberikan dampak positif. Disamping itu, apakah SISKA dapat digunakan sebagai barrier bagi kemungkinan penyebaran penyakit hewan dan pada saat yang sama dapat memudahkan dan mempercepat sistem pelayanan kesehatan hewan dibandingkan dengan cara yang dilakukan secara door-to-door di masyarakat. Dapatkah SISKA juga digunakan dalam upaya menyelamatkan sapi betina produktif dengan cara mengidentifikasi sapi betina produktif dan sapi betina afkir.
Dengan cara yang sama dengan pendekatan tersebut, dapatkah SISKA digunakan juga sebagai cara untuk melindungi sapi-sapi lokal kita dari kemungkinan menurunnya kapasitas genetik karena terjadinya inbreeding atau terjadinya persilangan dengan sapi-sapi breed lain agar keberadaan sapi bali, misalnya, dapat dipertahankan keunggulan dan kapasitas produksi dan reproduksinya. Pencegahan inbreeding dapat dilakukan pengaturan/pergiliran penggunaan pejantan, misalnya dengan merotasi pejantan yang berumur 2 tahun pada berbagai model SISKA sistem ekstensif, kombinasi ekstensif dan intensif (semi-intensif). Apakah kemampuan perkebunan kelapa sawit dalam hal penyediaan pakan dapat juga diolah untuk diberikan kepada sapi-sapi yang berada di pulau Jawa karena dikawasan perkebunan kelapa sawit masih terdapat masalah dalam penyediaan indukan. Disamping itu, pada sistem penggembalaan di perkebunan kelapa sawit sebaiknya tidak diberikan suplemen mineral blok karena dapat menyebabkan konsumsi yang berlebihan. Dengan demikian, penyediaan pakan dikawasan ini sebaiknya diberikan juga dalam bentuk konsentrat yang berasal dari produk-produk samping pabrik kelapa sawit setempat, tidak didatangkan dari pulau Jawa.
Sumber :
SISKA SERIES EPISODE 03 dengan tema “Arah Kebijakan Kebijakan Pengembangan Pakan Berbasis Industri Sawit”
Resume SISKA SERIES Episode 03 oleh Moderator Prof. Tjeppy D Soedjana
Bahan paparan Narasumber drh. Nursaptahidayat (Direktur Pakan DPKH Kementerian Pertanian RI)