Kebutuhan Indonesia akan daging sapi masih cukup tinggi. Tahun 2019 Indonesia mengimpor sebanyak 686 ribu ton daging sapi untuk memenuhi konsumsi nasional. Salah satu factor yang menyebabkan rendahnya pasokan sapi nasional adalah karena keterbatasan lahan. Saat ini perbanyakan populasi sapi nasional masih didominasi oleh peternak rakyat (75%) dengan kepemilikan lahan terbatas.
Usaha perbanyakan populasi sapi nasional memerlukan ketersediaan lahan yang cukup agar bisa berjalan efisien dan ekonomis. Indonesia memiliki potensi perbanyakan populasi sapi nasional melalui integrasi sapi-sawit. Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah 14.23 juta hektar yang terdiri dari perkebunan rakyat (5.8 juta hektar), perkebunan negara (635 ribu hektar), dan perkebunan swasta (7.88 juta hektar). Industri kelapa sawit menghasilkan hasil samping yang dapat digunakan sebagai bahan pakan seperti bungkil inti sawit dan solid. Selain itu, dari lahan kebun dapat dihasilkan pelepah sawit dan biomassa vegetasi rumput antar tanaman kelapa sawit.
Penggembalaan ternak di kebun sawit mencakup beberapa kegiatan. Pertama, pengelolaan vegetasi seperti pemilihan lokasi penggembalaan dan pengukuran kapasitas tampung. Kedua, pengelolaan ternak seperti penentuan metode penggembalaan dan penentuan kebutuhan nutrisi ternak. Ketiga, pengelolaan sumberdaya manusia (SDM) yang terampil dalam pemeliharaan ternak sapi di perkebunan kelapa sawit.
Meskipun demikian, tidak semua kebun sawit dapat digunakan sebagai padang penggembalaan. Kebun sawit dapat digunakan sebagai padang penggembalaan ketika umur tanaman 6-15 tahun. Penggembalaan pada umur sawit yang masih muda (<6tahun) dapat merusak tanaman sawit itu sendiri. Hasil pengamatan menunjukkan penggembalaan sapi pada kebun sawit pada umur 4 tahun dapat mengakibatkan kerusakan batang sawit hingga 58%. Sebaliknya penggembalaan pada umur tanaman sawit yang terlalu tua (>15 tahun) memiliki ketersediaan vegetasi yang rendah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya transmisi cahaya pada kebun sawit yang tua (terhalang kanopi tanaman sawit yang rimbun).
Penentuan kapasitas tampung kebun sawit ditentukan berdasarkan produksi biomassa. Studi di PT. Buana Karya Bhakti, kebun sawit berumur 9 tahun dapat menghasilkan hijauan pakan ternak sebesar 754kg dan 2,914kg pada bagian tengah dan sisi kebun. Informasi di tempat lain, vegetasi hijauan diantara sawit dapat menghasilkan 1,000kg dan 3,010kg pada bagian tengah dan sisi kebun. Sedangkan penentuan kapasitas tampung berdasarkan produksi biomassa dibagi kebutuhan nutrisi ternak dalam satuan unit ternak. Penggembalaan dengan jumlah ternak yang melebihi kapasitas tampung dapat menghambat pertumbuhan rumput atau bahkan merusak kondisi tanah yang ada.
Kapasitas tampung juga dipengaruhi oleh komposisi botanis dan kualitas nutrisinya. Komposisi botanis atau jenis rumput dan leguminosa akan bervariasi dari setiap lokasi. Secara umum jenis rumput dan leguminosa yang dominan di lahan perkebunan kelapa sawit adalah sebagai berikut:
Rumput : Axonopus compresus, Paspalum conjugatum, dan Ottochloa nodusa.
Leguminosa : Mimosa pudica, Desmodium heterophylum
Daun lebar : Mikania micrantha
Hasil penelitian komposisi botanis diantara tanaman sawit pada umur 9 tahun diperoleh persentase yang berbeda untuk setiap grup dapat dilihat pada Tabel 1. Rumput mendominasi komposisi botani vegetasi diantara tanaman kelapa sawit. Persentase rumput tercatat lebih banyak tumbuh dibagian pinggiran dibandingkan bagian tengah kebun. Hal ini dikarenakan ketersediaan cahaya matahari (untuk proses fotosintesis) pada bagian pinggir kebun lebih tinggi dibandingkan pada bagian tengah. Berikutnya vegetasi diantara tanaman sawit didominasi oleh jenis leguminosa dengan proporsi 29.17% dan 27.76% pada bagian tengah dan pinggiran kebun. Selain itu terdapat pula kelompok tanaman Pakis dengan proporsi 15.67% dan 2.31% pada bagian tengah dan pinggir kebun. Tanaman Pakis ditemukan dalam proporsi yang cukup tinggi karena tidak disukai oleh ternak sapi dan lebih toleran terhadap naungan.
Tabel 1. Persentase komposisi botanis diantara pohon sawit
*respon cahaya, **invader yang lebih toleran terhadap naungan dan tidak disukai sapi
Komposisi botanis juga dipengaruhi oleh pola penggembalaan ternak (Grafik 1). Pola penggembalaan ternak menghasilkan pengelompokan botanis menjadi increaser, decreaser, dan invader. Kelompok decreaser pada umumnya merupakan jenis tanaman yang disukai oleh ternak. Kelompok ini memiliki kandungan nutrisi yang paling baik dan mempengaruhi kualitas nutrisi keseluruhan vegetasi. Contoh dari kelompok ini adalah tanaman leguminosa. Kelompok increaser merupakan kelompok tanaman yang kurang disukai oleh ternak karena nilai nutrisinya yang kurang baik dibandingkan decreaser. Kelompok ini akan meningkat komposisinya setelah beberapa tahun proses penggembalaan. Peningkatan proporsi kelompok in akan menurunkan kualitas nutrisi dari padang penggembalan secara keseluruhan. Meskipun demikian, kelompok ini akan berkurang tidak ada lagi kelompok decreaser atau terjadi proses penggembalaan yang berlebih (over grazing). Terakhir adalah kelompok invader yang Sebagian besar tidak akan dikonsumsi oleh ternak. Kelompok ini akan berkembang memanfaatkan ruangan yang kosong setelah proses penggembalaan. Kelompok tanaman ini direkomendasikan untuk dihilangkan secara manual (dicabut) ataupun kimia (herbisida) dari padang penggembalaan untuk menghambat penyebarannya.
Grafik 1. Komposisi decreaser, increaser, dan invader di padang penggembalaan selama periode waktu 6 tahun.
Sistem penggembalaan ternak di lahan perkebunan sawit dapat dilakukan dalam beberapa model. Model penggembalaan yang direkomendasikan untuk di areal perkebunan kelapa sawit adalah system rotasi (rotational grazing). Sistem rotasi dilakukan dengan cara merotasikan ternak ke beberapa petak penggembalaan sehingga nanti akan kembali ke petak awal. Lama waktu rotasi dari awal hingga ternak kembali ke petak penggembalaan pertama adalah selama 120 hari. Hal ini untuk memberikan waktu yang cukup bagi tanaman untuk tumbuh kembali (regrowth).
Dilihat dari kualitas nutrisinya, vegetasi diantara tanaman kelapa sawit memiliki kondisi yang cukup baik. Nilai rataan protein kasar dari vegetasi ini adalah 9-10% dengan kandungan serat kasar 25-29%, sedangkan kandungan nilai total nutrisi yang bisa dicerna (total digestible nutrient; TDN) dan lignin adalah 65% dan 10-15%. Kualitas nutrisi ini menunjukkan kelayakan lahan perkebunan kelapa sawit sebagai padang penggembalaan ternak. Meskipun demikian perlu diperhatikan manajemen penggembalaan yang baik agar optimal dan menghindari timbulnya dampak negative terhadap perkebunan sawit.
Peningkatan kapasitas tampung dari perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan melalui peningkatan produksi hijauan. Pemilihan jenis tanaman hijauan makanan ternak (HMT) yang akan dikembangkan harus bisa beradaptasi dengan tingkat ketersediaan sinar matahari yang rendah hingga 30%. Selain itu tanaman yang dipilih harus tahan terhadap penggembalaan, dapat ditanam dalam system percampuran, mudah tumbuh tersedia benih dalam bentuk biji. Karakteristik terpenting adalah tidak berkompetisi dengan tanaman sawit. Contoh dari tanaman HMT yang dapat dibudidayakan diantara pepohonan sawit adalah Stenotaphrum secundatum, Calogonium caerulum, Fleminga congesta, dan Ischaemum aristetum.
Meskipun demikian, perlu dipertimbangkan secara matang terkait penanaman HMT untuk meningkatkan kapasitas tampung lahan sawit. Pertimbangan pertama adalah diperlukan tambahan biaya yang tidak sedikit untuk melakukan penanaman HMT di kebun sawit. Hal ini dikarenakan kondisi lahan yang berada di antara pohon sawit sehingga memerlukan tenaga kerja yang cukup banyak. Selain itu diperlukan perawatan yang lebih kompleks dibandingkan perawatan HMT pada lahan terbuka.
Pemanfaatan vegetasi atau HMT alam yang ada masih menjadi pilihan yang paling efisien dan realistis saat ini dibandingkan introduksi atau penanaman HMT. Pemenuhan kebutuhan nutrisi ternak dapat disiasati dengan pengaturan jumlah ternak yang digembalakan sesuai dengan kapasitas tampung lahan. Pemenuhan kebutuhan nutrisi dapat pula dilakukan melalui penanaman legume pohon di sisi kebun sebagai sumber protein untuk ternak. Penanaman legume pohon sangat mudah dan tidak akan menggangu akses para pekerja kebun sawit dan perpindahan ternak antar blok. Tanaman legum yang biasa ditanam adalah Indigofera, Gamal, Lamtoro dan tanaman legum lainnya.
Sebagai penutup, kehadiran ternak sapi yang digembalakan pada lahan sawit memberikan banyak manfaat bagi pemilik kebun dan ternak. Sapi berperan sebagai biological mower yang melakukan penyiangan gulma sebagai pakan mereka. Praktik ini dapat mengurangi biaya pembelian herbisida untuk penyiangan gulma. Gulma, rumput, dan legume yang dikonsumsi kemudian dicerna oleh ternak sapi dan keluar sebagai pupuk organic. Proses konversi dari gulma menjadi pupuk menjadi lebih cepat dibandingkan proses komposting tanpa menggunakan sapi. Pupuk dalam bentuk feses ini kemudian disebarkan di dalam areal kebun seiring waktu ternak sapi menggembala di lahan tersebut. Berdasarkan pengalaman empiris dan hasil penelitian, praktek ini membuat kualitas hara tanah menjadi lebih baik dibandingkan lahan yang tidak dimasuki oleh sapi. Feses sapi merupakan sumber hara dan mikroorganisme yang dapat memperkaya kandungan nutrisi dan komunitas mikroba di dalam tanah. Lebih lanjut, pengayaan mikroba di dalam tanah bahkan terbukti dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme pathogen yang menyerang tanaman sawit seperti Ganoderma.
Sumber :
SISKA SERIES Episode 04 dengan tema “Manajemen Pastura di Areal Perkebunan Sawit”
Resume SISKA SERIES 04 oleh Moderator Dr Windu Negara
Bahan paparan narasumber (Dr Ir Mansyur, MSi, IPM)