SISKA Collaborative Research
and Dissemination

"Collaborative Research and Dissemination to support SISKA (oil palm-livestock integration & intercropping system) adoption and expansion to achieve sustainable oil palm plantation"

MENGAPA SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DIPERLUKAN?

BAGIKAN

Dinamika pembangunan sektor pertanian yang berbarengan dengan pertumbuhan ekonomi, perbaikan pendidikan, pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan arus globalisasi, sudah tentu akan menyebabkan semakin meningkatnya permintaan terhadap komoditas pangan termasuk daging sapi. Daging sapi merupakan komoditas yang peningkatan permintaannya melebihi besarnya peningkatan pendapatan rumah tangga konsumen yang berpendapatan menengah ke atas. Padahal penyediaan daging sapi nasional masih mengalami kekurangan karena kemampuan produksi daging sapi lokal hanya 400 ribu ton dibandingkan dengan konsumsi sebesar 700 ribu ton per tahun. Dengan demikian, impor daging sapi/kerbau cenderung terus meningkat setiap tahun. Badan Pusat Statistik (2020) mencatat bahwa produksi daging sapi di Indonesia mencapai 506,7 ribu ton pada 2015 dan meningkat menjadi 518,5 ribu ton pada 2016, yang kemudian mengalami penurunan menjadi 486,3 (2017) dan 497,9 (2018) dan hanya mencapai 490,4 ribu ton pada tahun 2019. Produksi daging sapi domestik ini dipasok oleh sekitar 98% usaha ternak skala kecil tradisional dengan pemilikan 1 sampai 3 ekor /rumahtangga, yang umumnya dipelihara sebagai sumber tenaga kerja atau tabungan. Sebahagian besar populasi ternak sapi potong ini terkonsentrasi di kawasan padat penduduk (Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara) dengan daya dukung pakan yang sangat terbatas. Kekurangan pasokan daging sapi di dalam negeri ini dipenuhi melalui impor dalam bentuk sapi bakalan untuk digemukkan maupun daging beku.

Salah satu penyebab rendahnya produksi daging sapi domestik adalah semakin berkurangnya ketersediaan pakan ternak dalam bentuk padang penggembalaan didaerah produsen Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Industri pariwisata yang terus berkembang juga ikut berperan dalam konversi lahan produktif dan padang penggembalaan sehingga kegiatan budidaya pertanian dan peternakan terhambat, sementara lahan pengganti tidak tersedia. Disamping itu, biomasa pakan dan hasil samping pertanian yang tersedia di Pulau Jawa dan sebagian Sumatera hanya tersedia untuk sistem potong-angkut. Sedangkan budidaya sapi potong yang lebih murah melalui sistem penggembalaan memerlukan lahan yang luas, padahal di wilayah Kalimantan dan Sumatera, memiliki sumberdaya pakan sangat berlimpah terutama berasal dari kawasan perkebunan dengan populasi sapi potong yang relatif rendah.

Dari berbagai pilihan sumberdaya pakan ternak ruminansia seperti sapi potong, kawasan perkebunan kelapa sawit telah menjadi perhatian selama dua dekade ini karena kemampuannya menyediakan pakan dalam bentuk rerumputan dibawah pohon kelapa sawit terutama sebelum ternaungi daun, hasil ikutan industri kelapa sawit berupa berupa bungkil inti sawit, pelepah, daun, tandan kosong, serat perasan buah kelapa sawit, dan lumpur sawit sebagai sumber pakan konsentrat. Kajian peluang pemanfaatan biomassa yang disediakan perkebunan sawit sebagai pakan ternak sapi potong telah memunculkan banyak gagasan tentang prospek pasokan daging sapi yang berasal dari kawasan perkebunan sawit. Sistem integrasi sawit-sapi merupakan salah satu pendekatan saling menguntungkan antara usaha perkebunan kelapa sawit dengan ternak sapi. Keberadaan ternak sapi berpotensi memberikan dampak positif sebagai penghasil kotoran yang dapat digunakan sebagai pupuk organik dan membantu penyiangan gulma, dilain pihak tanaman sawit menyediakan berbagai macam biomasa sebagai pakan ternak. Untuk itu, pemerintah pusat maupun daerah terus melanjutkan kampanye penerapan sistem integrasi sawit-sapi ini dengan tujuan untuk memperbaiki alokasi sumberdaya dan memperbaiki pendapatan petani/peternak/pekebun.

Pada saat ini Indonesia telah memiliki sekitar 16 juta hektar perkebunan kelapa sawit, sebagai yang terbesar di dunia yang memiliki potensi untuk diintegrasikan dengan ushaternak sapi potong, dimana kedua bidang usaha ini berinteraksi saling menguntungkan. Namun demikian, sistem integrasi seperti ini masih belum berkembang pesat dan diadopsi secara luas oleh para pengusaha. Dengan memperhatikan manfaatnya yang besar, maka hal ini perlu terus didorong melalui upaya dan kerjasama dengan berbagai instansi dibidang pendidikan dan pelatihan, penelitian dan penyuluhan, serta sektor swasta. Program pemerintah yang mendorong adopsi dan penerapan sistem integrasi sawit-sapi telah dilakukan melalui berbagai kegiatan penelitian di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan kawasan lainnya agar peningkatan areal perkebunan kelapa sawit ini dapat diintegrasikan dengan budidaya ternak sapi potong.

Dengan demikian, pemerintah pusat dan daerah akan terus mendorong untuk mengembangan sistem integrasi ini melalui berbagai insentif termasuk investasi, modal kerja, bunga bank, dan pajak, membangun infrastruktur untuk meningkatkan aksesibilitas ternak sapi kedalam maupun keluar kawasan perkebunan termasuk pemasaran hasilnya. Tidak kalah pentingnya, mendorong kemitraan antara perusahaan penggemukan dengan perkebunan kelapa sawit, yang memiliki pabrik CPO untuk pemanfaatan sisa pengolahan sebagai pakan konsentrat, dalam penyediaan pasokan sapi bakalan dalam bentuk pengembangan usaha, bantuan teknis, penyuluhan, dan pelatihan, termasuk mendorong terbentuknya kelembagaan petani kelapa sawit rakyat yang melakukan integrasi sawit-sapi agar mampu mengelola skala usaha yang ekonomik.

Sumber : Prof. Dr. Ir. Tjeppy D Soedjana, MSc

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Chat Kami
1
Siskaforum.org
Gratis, gabung komunitas Siska Forum
Dapatkan info dan artikel menarik mengenai Sistem Integrasi Sapi dan Kelap Sawit